"Saat putra kami, Jacob, masih bayi, saya hanya di dalam rumah sepanjang hari tanpa seorang pun yang dapat diajak bicara, Penduduk yang lain adalah orang tua dan kebanyakan tidak berbicara bahasa Inggris. Orang-orang seumuran saya bekerja dan tidak ada anak-anak untuk diajak bermain bersama Jacob. Saya sangat sendiri. Jika Anda tinggal di rumah di sini, Anda benar-benar tinggal di rumah. Saya bisa katakan saya tadinya depresi. Namun saya tahu akan seperti itu selama dua atau tiga tahun."
"Itu hal yang penting karena saya bisa membangun jaringan. Saya merasakan rumah kembali."
Sunday, 30 April 2017
Benarkah POPULASI PEREMPUAN berkurang?
Ada sebuah pulau yang populasi laki-lakinya jauh lebih besar ketimbang perempuan.
Kalaupun ada perempuan, itu adalah orang tua (ibu-ibu), sedangkan wanita mudanya bepergian ke negara lain dan tidak kembali.
Dilansir dari BBC, laki-laki di Kepulauan Faroe sedang mencari istri di luar negaranya. Kepulauan yang berada di antara Norwegia dan Islandia, yang merupakan bagian dari Kerajaan Denmark ini, sedang kedatangan arus pendatang dari Asia Tenggara untuk menikah dengan laki - laki di Faroe.
Dalam beberapa tahun belakangan, kepulauan ini kekurangan populasi wanitanya. Wanita muda disana biasanya pergi meninggalkan pulau untuk tujuan studi, tapi tidak kembali lagi. Para wanita di Faroe banyak yang protes karena komunitas terdekat terlalu konservatif dan budayanya berpihak ke laki-laki, seperti beternak domba, berburu, dan mencari ikan masih terlalu dominan. Bagi sebagian perempuan, masyarakat Faroe masih terlalu kecil dan banyak keterbatasan.
Saat ini hanya ada sekitar 2.000 perempuan di usia menikah dengan total populasi 50.000 penduduk. Berdasarkan catatan resmi, kaum perempuan cenderung menetap di luar negeri. Hasilnya, menurut Perdana Menteri Axel Johannesen, warga Faroe memiliki "defisit gender" mengingat jumlah pria lebih banyak dari 2.000 orang. Masalah ini mendorong para pria Faroe mencari asmara di luar kepulauan melalui internet.
Beberapa laki-laki bahkan mencari sampai ke Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina. Banyak, meski tidak semua, perempuan Asia yang bertemu suami mereka lewat internet, sebagian lewat situs kencan komersil. Yang lain membuat koneksi melalui sosial media atau pasangan Asia-Faroe lainnya.
Ada lebih dari 300 perempuan dari Thailand dan Filipina yang saat ini tinggal di Kepulauan Faroe. Kelihatannya tidak banyak, namun di kepulauan yang hanya berpenduduk 50.000 orang, para perempuan ini menjadi etnis minoritas terbesar.
Beberapa pendatang baru mengalami culture shock.
Kepulauan Faroe merupakan bagian dari Kerajaan Denmark, memiliki bahasa sendiri (berasal dari Old Norse) dan budaya yang unik - khususnya menyangkut makanan.
Kuliner Kepulauan Faroe, antara lain daging kambing yang difermentasi, ikan kod yang dikeringkan, dan terkadang daging ikan paus dan lemak anjing laut. Jelas sekali perbedaannya dengan masakan Asia yang dilengkapi rempah-rempah tradisional.
Dalam siaran podcast BBC, Athaya yang menikahi pria Faroe, menceritakan kisahnya pindah ke kepulauan ini. Ia mengaku sangat sulit menyesuaikan diri pada awalnya. Saat ini dia menekuni bisnis restoran di Torshavn, ibu kota kepulauan Faroe. Dia dan Jan tinggal di sebuah rumah yang nyaman di bantaran sebuah fjord -laut yang dalam, sempit dan memanjang yang dikelilingi pegunungan yang dramatis. Namun dia jujur mengenai bagaimana sulitnya pindah negara pada awalnya.
Athaya Slaetalid dengan suaminya Jan dan anak mereka Jacob.
Kemudian, saat Jacob mulai masuk taman kanak-kanak, diap mulai bekerja di perusahaan katering dan bertemu perempuan Thailand lainnya.
Share this
Related Articles :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Populer Bulan ini
-
Jika kamu mengaku pemburu bakso dan kebetulan sedang mampir di Banyuwangi, maka menjadi sebuah kewajiban bagimu untuk mencoba uniknya bakso...
-
Krikiland adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Glenmore. Gak tau juga kenapa diberi nama seperti itu... Tapi kayaknya sih tu n...
0 comments
Post a Comment